
Oleh: Redaksi Kutipan.co
Kalau kamu kira membangun halte itu semudah bangun tidur—ya, kamu keliru.
Di Lingga, membangun halte bisa bikin ramai. Tapi anehnya, semua yang ramai malah saling dukung. Tidak ada demo, tidak ada ancaman somasi. Yang ada justru: teduh, tenang, dan… tuduhan yang datang entah dari mana.
Jadi ceritanya, Dinas Perhubungan Kabupaten Lingga bangun tiga unit halte di lingkungan sekolah. Lokasinya di SMP Negeri 1, SMP Negeri 2, dan SMA Negeri 1 Singkep.
Tujuannya mulia: biar anak sekolah nggak nunggu jemputan sambil kepanasan kayak ayam panggang di pinggir jalan.
Halte-halte ini sempat dikira “memakan bahu jalan.” Tapi, setelah ditelusuri, bahu yang dimaksud ini bukan bahu jalan tol—melainkan jalan permukiman yang lebih sering dilewati anak sekolah bawa motor matic dan emak-emak naik mobil minjem suami.
Hasbullah, Kabid Darat Dishub Lingga, yang langsung turun ke lapangan, bilang dengan tenang dan terukur:
“Kami sudah cek dan recheck sama pihak-pihak terkait. Termasuk pihak sekolah, dinas, dan orang-orang yang ngerti aturan.”
Ia juga memastikan atap halte yang sedikit masuk ke area jalan itu “tidak mengganggu siapa pun, bahkan tidak mengganggu semut lewat.”
Tapi karena ini Indonesia, selalu ada yang komentar duluan sebelum tanya baik-baik.
Sekolah Bilang: Terima Kasih, Pak!
Di SMA Negeri 1 Singkep, halte itu malah disambut hangat kayak mantan yang udah sadar dan balik bawa bukti cinta.
Lexminander Budi Kurniawan, Kepala Sekolahnya, justru mengaku bersyukur karena siswa-siswi punya tempat berteduh yang layak.
“Kami sudah menyetujui dari awal. Bahkan kami kirim surat kesiapan ke Dishub,” katanya kalem, seolah-olah menjawab pertanyaan yang tak kunjung diajukan.
Beliau juga menambahkan, anak-anaknya sekarang lebih senang nunggu jemputan. Tidak lagi bergelantungan di pagar sekolah atau duduk-duduk di pot bunga.
Efeknya? Pihak sekolah jadi nggak perlu menegur anak-anak yang mangkal sembarangan habis jam pulang.
LSM: Asal Bukan Hoaks, Kami Dukung
Sementara itu, dari pihak LSM Gagak Hitam Lingga, Ribut Satriawan juga menyampaikan dukungannya.
Meski namanya “Ribut”, isi komentarnya adem dan mendamaikan.
“Menurut kami, halte ini cocok dibangun di sini. Nggak ada pilihan lain yang lebih pas yang saya tau setelah dikaji oleh terkait,” ujarnya, dengan nada yang bikin netizen gosip bubar jalan.
Menurutnya, tempat ini memang bukan jalur kendaraan berat. Jadi aman, nyaman, dan sangat manusiawi buat ruang tunggu anak sekolah. Ribut bahkan menyebut halte ini “wajib” dibangun, bukan cuma perlu.
Lalu, Siapa yang Ribut?
Nah, ini dia misterinya.
Sampai berita ini ditulis, tidak ada keluhan resmi dari masyarakat, Bina Marga, atau makhluk astral setempat.
Kalau pun ada yang bersuara miring, barangkali cuma netizen yang merasa semua proyek pasti ada “sesuatu.”
Tapi kalau mau jujur, apa salahnya membangun sesuatu yang jelas manfaatnya?
Anak sekolah pulang nggak kehujanan. Sopir jemputan nunggu nggak harus muter-muter.
Guru pun nggak lagi jadi tukang ngatur “jangan duduk di trotoar!”
Halte Kecil, Harapan Besar
Dari luar, halte ini mungkin cuma struktur sederhana: besi, atap, dan papan nama. Tapi bagi banyak orang tua dan siswa, ini tempat berteduh yang berarti.
Di zaman di mana proyek-proyek sering jadi ajang rebutan atau bahan sinis, pembangunan halte ini justru jadi contoh sederhana bagaimana pemerintah, sekolah, dan masyarakat bisa duduk bareng, tanpa ribut—walaupun salah satu pendukung utamanya bernama Ribut.
Selamat menunggu jemputan, adik-adik. Halte-nya sudah siap. Tinggal cintanya aja yang belum datang.
Kalau kamu suka tulisan ini dan pengin versi cetak buat ditempel di halte sekolah, bilang aja. Kita print bareng-bareng. Atau, kalau kamu mau kirim cerita soal kampungmu ke Kutipan.co, email aja ke:
📧 penuliskutipandotco@gmail.com
Kami tunggu. Karena bisa jadi, ceritamu yang kecil adalah kutipan yang layak dibaca banyak orang.