
KUTIPAN – Ketua DPR RI, Puan Maharani, kembali menegaskan pentingnya perlindungan maksimal bagi korban kekerasan seksual, terutama anak-anak, dalam kasus dugaan kekerasan yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Dalam keterangan tertulis yang disampaikan di Jakarta pada Sabtu (15/3/2025), Puan mengungkapkan bahwa tindakan kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa yang harus mendapat hukuman berat tanpa toleransi.
“Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan terhadap anak menjadi sebuah keniscayaan. Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan yang sangat luar biasa sehingga harus ada hukuman berat dan tidak boleh ada toleransi sedikitpun,” ujar Puan.
Kasus ini menjadi perhatian publik setelah bocornya video pelecehan seksual yang direkam oleh Fajar di Australia, di mana dia diduga telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anak di bawah umur, serta memanfaatkan konten tersebut untuk dijual di situs porno internasional. Australian Federation Police (AFP) berhasil melacak asal konten dan menemukan bahwa video tersebut diunggah dari Kota Kupang, NTT, dengan melibatkan seorang anak berusia tiga tahun.
Puan menganggap kasus ini menambah panjang daftar kejahatan seksual di Indonesia yang perlu segera ditangani. Ia mengingatkan bahwa kasus ini adalah fenomena gunung es yang menunjukkan masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap.
“Kita masih memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar untuk menghapuskan kekerasan seksual di Indonesia. Ini sudah menjadi fenomena gunung es yang harus menjadi perhatian kita bersama,” ungkap Puan.
Saat ini, Fajar sudah ditahan di Bareskrim Polri dan dicopot dari jabatannya meskipun belum dipecat dari institusi Polri. Bareskrim Polri memastikan hukuman bagi Fajar akan diperberat karena adanya unsur eksploitasi seksual terhadap anak.
Puan menambahkan bahwa sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), ada tambahan hukuman bagi pelaku yang merupakan pejabat publik, dan ini harus ditegakkan dengan sebaik-baiknya. Ia juga meminta semua pihak untuk mengawal proses hukum hingga tuntas.
“Jika negara gagal memberikan keadilan bagi korban dan tidak serius dalam upaya pencegahan, maka kasus serupa akan terus terulang,” tegas Puan.
Ia juga menyoroti pentingnya pemenuhan hak-hak korban, khususnya anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Puan menekankan bahwa selain penegakan hukum, negara harus memastikan pemulihan psikologis bagi para korban agar mereka bisa pulih dari dampak trauma.
“Pelecehan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang berdampak serius pada psikologis korban. Negara harus hadir untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan perlindungan, pendampingan psikologis, dan keadilan,” kata Puan dengan tegas.
Selain itu, Puan juga mengapresiasi langkah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta Kementerian Sosial (Kemensos) yang memberikan pendampingan bagi korban. Ia juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) turut turun tangan dalam memberikan pendampingan psikososial.
“Korban harus mendapatkan layanan pemulihan trauma secara komprehensif. Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual harus diberikan terapi psikososial untuk membantu mereka pulih dari dampak psikologis,” tambah Puan.
Puan juga mengingatkan bahwa upaya pencegahan kekerasan seksual harus terus diperkuat, dengan edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat, keluarga, dan lingkungan pendidikan. Ia mengajak semua pihak untuk lebih aktif dalam memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang cara mengenali tanda-tanda pelecehan seksual dan bagaimana melaporkannya.
“Dengan kerja bersama dari semua pihak, termasuk elemen bangsa dan masyarakat itu sendiri, kita bisa membawa Indonesia bebas dari kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan dan anak,” tutup Puan.