Keberadaan hutan bakau atau mangrove di Desa Mamut, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga terancam punah. Bahkan, masyarakat yang mengandalkan hidup dari mencari ikan, kepiting dan udang di kawasan mangrove tersebut juga mulai terancam akibat rusaknya hutan mangrove tersebut.
Kadus II Desa Mamut Iwan dalam keterangan menyebutkan, produksi arang dengan bahan bakunya kayu bakau tersebut secara tidak langsung telah merusak lingkungan sekitar. Ia menduga berkurangnya jumlah bakau di kawasan tersebut tak terlepas dari adanya Dapur Arang di Pulau Petai yang berlokasi di Dusun II, Rt 04, Rw 02, Pasalnya, Dapur Arang yang didominasi pengusaha besar itu memproduksi besar-besaran dan diduga tidak memiliki izin.
“Miris kita melihat. Hutan mangrove dibabat untuk kepentingan pengusaha. Sementara upaya revitalisasi tidak ada. Ini yang membuat masyarakat tempatan kelimpungan. Apalagi areal mereka mencari ikan sudah tak ada, lantaran hutan sekitar lepas pantai dirusak sekolompok orang,” katanya
Ditambahkan Iwan menjelaskan, beberapa desa yang memiliki kawasan bakau di wilayah Desa Mamut, seperti Dusun II Ujung Kayu, Hutan mangrovenya kini sudah rusak. Sementara, mangrove merupakan merupakan tempat berkembang biaknya habitat laut. Selain itu kata Iwan masyarakat di wilayah desa tersebut menggantungkan hidup dari mencari ikan.
Karena itu, Iwan berharap, kepada Pemerintah Kabupaten Lingga khususnya instansi terkait untuk turun ke Desa Mamut guna menyelesaikan persoalan yang telah menggangu kehidupan sosial masyarakat itu.
Lebih jauh Iwan mengatakan, Desa Mamut sendiri merupakan salah satu pulau kecil terluar di Kabupaten Lingga yang pada tahun 1998 sudah masuk Desa Binaan Coremap Fase I dan mangrove nya pun sudah dilindungi masuk dalam konservasi.
“Dulu hutan mangrove disini sangat luas, sekarang sudah punah dibabat manusia yang tidak bertanggung jawab, Ini semua akibat dibabat dan dibiarkan tumbuh sendiri. Menjelang tumbuh, kayu yang ada sudah habis,” tuturnya.
Salah satu pengusaha Dusun II Desa Mamut dimana dia memiliki lahan seluas ratusan Ha. Oknum itu mempunyai Koperasi sebagai mitra kerja dari semua aktifitas yang dilakukannya. Parahnya, menurut Iwan, produksi arang yang dilakukan sampai puluhan ton. Artinya, dapur arang yang mereka buat dalam kapasitas sangat besar. Sementara warga setempat beli untuk buat kue saja susah.
“Yang jelas ekosistem mangrove di wilayah Desa Mamut sudah rusak parah dibuatnya. Sementara upaya pelestarian hutan tidak dlakukan. Makanya kita minta pihak terkait untuk meninjau kembali izin usaha mereka. Dalam waktu dekat kita akan sampaikan persoalan ini,” tukasnya.
Hal senada disampaikan oleh Kades Desa Mamut Marjono menurutnya, aktifitas para pengusaha Dapur Arang saat ini sudah tidak terkendali.
“Siapa saja bisa melakukan penjarahan mangrove. Ini akibat regulasi yang semuanya diatur oleh oknum pejabat, Yang jadi persoalan sekarang, apakah para pengusaha arang ini memiliki izin dalam pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku utamanya,” ucap Kades Marjono.
Disebutkan, bila masalah ini tidak ditata ulang dengan baik, maka kerusakan lingkungan akan semakin parah. Saat ini, menurut Kades Marjono nelayan sudah sulit untuk meningkatkan hasil tangkapan karena tempat ikan dan udang bersarang sudah habis dibabat pengusaha.
Ia meminta perhatian dari pemerintah Daerah untuk turun dalam rangka menata kembali tata ruang agar kerusakan ekosistem tidak semakin parah.
“Jika open akses ini terus berlangsung kita khawatir ekosistem laut akan semakin hancur akibat hantaman abrasi yang sangat luar biasa. Bahkan kemungkinan besar berpotensi menenggelamkan pulau pulau kecil terluar yang ada disana,” pungkasnya.